Piece of Art

Selasa, 19 Januari 2016

Short Story: Rainy Day

Written by Yuri Maulydina

Mencintai seseorang tanpa balasan bukanlah hal yang gampang untuk dilewati. Aku harus menelan pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan. Aku tak menyesalinya, karena hatiku yang memilih dia. Dia yang aku cintai meskipun aku yang harus terluka. Cinta buatku adalah kebahagiaan. Cinta tanpa memiliki memang menyakitkan, tapi bagiku rasa sakit itu tak sebanding dengan kebahagiaan disaat aku mencintainya. 

Raini POV
Aku tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengannya setelah perpisahanku saat wisuda SMA. Aku tak tahu jika aku dengannya kuliah di universitas yang sama. Aku bertanya pada Tuhan, mengapa kami dipertemukan lagi ? Dan itu masih menjadi teka teki kehidupanku. 
Aku mengubah diriku karenanya. Saat semester satu aku berubah menjadi ramah dan memiliki banyak teman. Saat itu, aku sedang memakai topeng yang aku sendiripun tak tahu siapa aku. Lalu, aku merubah diriku lagi. Aku tak pernah serajin ini belajar. Tapi, tekadku begitu kuat. Aku ingin tunjukan padanya bahwa aku tidak bodoh. Setiap hari aku rajinkan diri belajar dan mengasah otakku. Hingga dua semester berlalu aku puas dengan hasil ip ku meskipun aku tahu ip ku tidak bisa menandingi ipnya yang tinggi. 
                                                           ***
Dua semester berlalu, aku merubah diriku lagi. aku menjadi Raini yang tidak aku kenali. Sejak kapan aku suka dengan kegiatan beladiri ? Aku gabung ke salah satu UKM beladiri yaitu Taekwondo. Awalnya, aku tak mengerti alasannya mengapa aku bergabung tapi aku menyadari bahwa ayahku takkan selamanya hidup denganku. Suatu saat dia akan pergi meninggalkan ku dan tidak akan bisa melindungiku lagi. Selain Allah dan ayah yang ku punya, aku hanya punya diriku sendiri. Aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri karena aku tak punya siapapun yang bisa melindungiku.

Saat aku masuk ke dunia taekwondo, aku merasakan tekanan mental yang cukup membuatku ingin menyerah. Tapi, aku teringat lagi bahwa jika ayah tak ada maka siapa yang akan melindungiku selain diriku sendiri ? Lalu, aku menguatkan diriku dan aku menjadi terbiasa dengan dunia beladiri yang ku ikuti. Sekarang, aku mengikuti taekwondo tanpa beban karena teman-temanku disana sangat baik. Aku menyayangi mereka dan aku bersyukur bisa menjadi bagian dari UKM beladiri taekwondo di kampusku. Aku menyadari bahwa aku tidak begitu jago dengan teknik taekwondo yang ku pelajari tapi setidaknya Tuhan tahu seberapa besar usahaku untuk melindungi diriku sendiri. Semua yang ku lakukan ini bukan karena dia, Adi. 
                                                          ***
“Raini, apa kamu mau main truth or dare bersama kami ?” tanya Suzy
“Siapa takut.”
Kami pun duduk melingkar di depan kelas. Giliran berputar dari yang kalah dan aku yang pertama.
“Kamu mau truth or dare ?”
“Truth.”
“Whaaaaa.”
“Baiklah, aku mau tanya. Kamu kan gayanya seperti laki, kamu juga suka laki kan rain ? Eh, maksudku hmmmmm.”
“Haha, zy. Kamu gila ya? Wajah boleh sangar tapi hati ku lembut seperti sutra.”
“Euh.” Ejek Gina
“Aku punya seseorang yang aku suka.”
“Kelas ini ?”
“Bukan. Dia anak manajemen, dulu kami berteman.”
“Emang sekarang udah gak ?”
“Aku merasa sekarang dia bukan seperti teman lagi, zy. Dia lebih pantas menjadi  my enemy.”
“Waeyooo (kenapa) ?” kata Eka
“Setelah dia tahu aku suka dengannya, dia menjaga jarak denganku. Aku pernah melihatnya saat aku taekwondo, dia lagi asik bicara dengan teman-teman perempuannya yang berjilbab. Aku masih ingat itu. Dia pura-pura tak kenal melihatku, padahal aku lewat didepannya.”
“Ish, jahat banget sih.”
“Emang cakep rain ?”
“Aku tak pernah suka seseorang dari wajahnya.”
“Ah, berarti dia jelek. Kalo jelek, kenapa kamu harus ngejar cowok yang belagu kayak gitu sayang ?”
  Aku cuma membalas pertanyaan Suzy dengan senyuman. Bagiku, aku tak perlu menjelaskan mengapa aku mengejarnya seperti orang bodoh. Yang tahu hanya hatiku yang menyedihkan ini. Aku sangat menunggu waktu menghentikan perasaanku, karena hatiku telah tercambuk selama tiga tahun.
                                                           ***
Benar – benar melelahkan saat ada matakuliah yang jadwalnya pagi, aku harus berperang melawan hujan dan rapuhnya kakiku yang berjuang menuju ke lantai empat. Sesampai di kelas, hanyalah sesak yang masih tersisa. Aku melalui hari ku seperti itu, dari senin hingga balik lagi ke senin. Perjuangan ini tak seberapa dibandingkan rasa sakit menyukainya. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya di semester ini, mungkin Allah ingin menjauhkan kami. Dan aku rasa itulah yang terbaik, meski tak melihatnya aku masih bisa berdiri tegak. Sejujurnya akan lebih menyesakan dadaku jika aku harus bertemu dengannya. 
Melihatnya lalu bertemunya lagi membuatku lemah seperti tubuh tak bernyawa. 

Semua lelahku di kampus hilang begitu saja ketika aku pulang kerumah. Melihat tatapan ibuku dan juga pelukan hangat darinya membuatku merasakan arti hidup yang bahagia. Walaupun aku tak punya banyak teman, aku tak bisa lepas tertawa disana, paling tidak aku tak menyembunyikan diriku lagi. Aku sadari aku memang seperti ini. Apalah artinya sebuah tawa yang besar dan teman yang banyak jika aku tak tahu siapa diriku sebenarnya. Bagiku, ini adalah aku. Hidupku terasa lebih ringan setelah aku membuka topeng yang dulu begitu menyiksaku. Rumah adalah tempat dimana memang aku benar-benar hidup tanpa kepalsuan apapun. Keluarga yang bisa menerimaku apa adanya.
“Kak.”
“Kenapa ?”
“Gimana Adi ?” tanyanya padaku yang lagi asik nonton tv
“Apaan sih. Gak usah nanya-nanya.”
“Galak. Kan aku cuma pengen tahu.”
“Anak kecil gak usah ikut campur.”
“Kakak sih, gak usah ngejar dia lagi kak. Cowok kalo di kejar ya malah jijik.”

Aku langsung melihat ke arahnya. Dan sial, aku tak mau ribut dengan adikku hanya karena orang yang bahkan tak mau peduli denganku. Aku pendam rasa marahku dan membanting pintuku. Aku pasang lagu dengan volume up dan mematikan lampu kamarku. Tanpa ku sadari, aku menangis. Tangisan yang kesekian kalinya aku jatuhkan hanya karena Adi. Lagi dan lagi, aku menepuk dadaku yang penuh dengan sesak. Aku harus menguatkannya meskipun dia akan rapuh lagi. Hatiku sangat membuatku sengsara, aku mencintai seseorang yang sampai kapanpun takkan mencintaiku. Dari ucapan adikku, aku akan merubah diriku. Aku tekadkan untuk cepat menyelesaikan sarjanaku sehingga aku bisa meraih beasiswa S2 di Australia. Aku juga akan memulai untuk mengubah penampilanku, lebih feminim dan berdandan. Aku akan melakukan itu, tetapi bukan karena dia. But, I wanna do a revenge. Aku ingin buktikan pada diriku sendiri bahwa aku layak dicintai, aku layak menjadi wanita yang seharusnya. Aku tak peduli lagi dengan tersiksanya aku memakai topeng, semua aku lakukan demi harga diri yang telah jatuh saat menyukainya. Aku takkan melanjutkan perasaanku, aku tak membutuhkan waktu untuk menghentikan hatiku.
                                                           ***
Tak terasa aku sudah menyelesaikan akhir pekan UTS di semester 7, aku juga melewati perubahan drastis di setiap hariku. Aku semakin dewasa, jerawat yang membuatku depresi telah hilang, aku pandai berdandan, menjadi lebih anggun, aku memiliki banyak teman, tidak merasa kesepian lagi, tak lagi menggalaukan masalah hati dan ip ku meningkat semakin baik. Ya, hap selangkah lagi aku akan terjun sebagai pekerja di masyarakat. Mempunyai uang sendiri tanpa harus menjadi beban lagi bagi kedua orangtua adalah hal yang di nanti. Lalu,  mendapatkan beasiswa di luar negeri adalah impian yang akan aku raih. Semuanya akan berakhir bahagia begitupun juga perihal cintaku. Entah kapan ada akhir bahagia itu, aku masih tetap bertahan menjalani waktu yang ku miliki.

Semua perubahan berjalan begitu cepat dan aku merasa lebih bahagia setelah merelakan Adi pergi dari hatiku. Sungguh bebas tanpa beban sedikitpun. Senyumanku lepas, bahagia tanpa kepalsuan, topeng yang dulu melekat sekarang tak mampu lagi aku lepaskan. Aku menyadari bahwa topeng itulah bayanganku, itulah aku sebenarnya. Hanya saja ketakutan yang mencegat diriku hingga aku bingung menentukan siapa diriku saat itu. Andai topeng itu aku pertahankan dari dulu, aku bisa menikmati kebahagiaanku lebih lama lagi. Kini, aku rasakan sebuah kebahagiaan yang begitu menenangkan jiwa. 

*Aku kembali datang latihan taekwondo dari sekian lama aku vakum dari beladiri tercintaku itu. Seperti latihan biasa, kami berputar mengelilingi lapangan di bawah. Lalu, seorang laki-laki memanggil namaku.
“Rainiii.”
Aku menoleh ke arah dimana suara itu berasal. Ternyata dia teman dekat lamaku saat di SMA, malaikat penolongku saat adanya ujian matematika. Hal yang sangat tak terduga dan menggembirakan yaitu bertemu dengan dia, Ravi.
“Rav.” 
Aku melambaikan tanganku ke dia dan menghentikan lariku. Dia menghampiri tempat dimana aku berdiri.
“Kamu ngapain disini ? Kamu kan kuliah di kampus seberang.”
“Haha. Emang gak boleh ? Udah lama ya kita gak ngobrol, duduk disana aja yuk.”
“Hmmmm.” Aku melihat ke arah pelatih yang sedang memplototiku
“Oh, gak boleh ya sama pelatih kamu ?”
“Bukaaan, gitu. Yaudah deh, yuk. Bentar aja ya, aku takut dimarahin.”
“Iyaa.”
Kami pun duduk disana, di tempat dimana jauh dari segerombolan geng yang memang biasanya sering nongkrong di lapangan ini.
“Masih inget aku aja, rav ?”
“Iyalah.”
“Kan aku udah berubah ?” ucapku sambil mengedipkan mata
Ravi hanya tertawa
“Kok ketawa sih ?”
“Meskipun jerawat kamu udah hilang, lebih feminim tapi kamu ya tetap Raini.”
“Iyasih.”
“Gimana kabarnya Adi ? Ada perkembangan gak ?”
“Apaan deh kamu. Hah, kamu gak tau sih seberapa besar usaha aku buat berhenti suka sama soulmate kamu itu. Ish, sekarang malah nanya.” 
“Kamu udah lupa sama dia ? Masa ? Hebat dong.”
“Hebat dari mana ? Butuh perjuangan, rav. Hiks.”
Ravi tertawa lagi
“Kalo cuma mau bahas Adi, aku balik lagi nih latian.”
“Engg. Enggak kok rain. Aku seneng bisa ketemu kamu kebetulan gini disini.”
“Kamu tuh aturan bbm kalau ada disini, kan kita bisa ketemu tanpa harus ada limit waktunya.” Aku nyengir
“Gak ada niatan buat bbm kamu, males.” Ravi menjulurkan lidah
“Ih, sama temen tuh gak boleh gitu. Ngeselin.”
“Manyun mulu tuh bibir, entar maju beneran gimana ?”
“Biarin aja sih.”
“Entar Adi jadi gak suka sama kamu.”
“Emang selama ini dia gak suka yaa. Rav, kayaknya aku harus balik kesana deh. Aku udah diliatin tuh sama pelatihku.”
“Yaudah, semangat ya latiannya.”
“Siap bos. Kalo kesini lagi, bbm ajah. Atau kapan-kapan kita ketemu lagi, rav.”
“InsyaAllah,, kalau aku gak sibuk ya rain.”
“Bodoamat.” aku memasang ekspresi mengejek
    Percakapanku dengannya berakhir begitu singkat karena aku harus kembali lagi latihan. Saat dia pulang, dia memanggilku dan melambaikan tangannya.
                                                                  ***
Pagi yang sangat merepotkan, aku harus datang ke kampus sebelum jam 7 pas. Hari ini adalah giliran kelasku untuk latihan drama. Sesampai di lantai tiga, aku melihatnya berdiri tidak jauh dariku. Seseorang yang sudah lama aku lepas dari hatiku dan sekarang dia ada di hadapanku. Aku menguatkan diri agar aku tidak menariknya lagi masuk ke hatiku. Aku melangkah sangat pelan, detak jantungku sangat berdebar, aku harus menghela nafas berkali-kali. Kami sama-sama berjalan dan semakin dekat berpapasan muka. Aku tak ingin menganggap bahwa aku mengenalnya. Pertemuan sial ini tak akan aku ingat, tak kan pernah ada dalam ingatanku. Aku akan berjalan tegap, melewati dia dan berpura-pura bahwa aku tak mengenalnya. Aku semakin dekat dengannya. Aku melewatinya tanpa ada satupun sapa dariku, lalu..

“Raini.”

Dia memanggilku. Dia memanggil namaku. Dia masih mengingatku. Dia masih menganggap aku ada, aku Raini. Aku sudah mulai berkaca-kaca tapi aku tahan karena aku tak mau membiarkan hatiku rapuh lagi. Aku sangat tertekan saat ini, kenapa ? Dua semester aku bahagia tanpa harus bertemu dengannya. Lalu, kenapa Tuhan membiarkan aku bertemu dengannya lagi ? Kenapa aku harus berpapasan dengannya ? Dia masih menganggap aku sebagai Raini, bukan orang asing. Dia tak berpura-pura tidak mengenaliku. Hatiku sangat hancur saat ini. Aku masih tak menoleh ke arahnya, aku tak bisa melihat wajahnya bahkan aku tak mampu membalas sapaannya. Dia, seorang teman yang sangat baik yang pernah aku miliki dulu. Aku berpikir bahwa setelah aku menyukainya, dia akan menganggapku sebagai penggangu hidupnya. Atau bahkan lebih buruk dari itu, tapi semua persepsi ku salah. Dia masih mengingatku sebagai Raini.

“Rain. Raini.”dia menoleh ke arahku

Dia kembali bersuara dan aku melihat wajahnya. Tanpa aku sadari aku meneteskan airmata. Aku meluapkan kesedihan yang tak bisa aku tahan. Dia melihatku menangis dan lagi aku membiarkan hatiku rapuh. Aku terlihat menyedihkan di depannya, aku tak bisa menyapanya kembali. Aku melewatinya tanpa satupun kata dan mempercepat langkah ku pergi ke ruang dimana kelasku latihan drama. Tangisan yang tak bisa aku bendung lagi, keluar begitu banyak. Aku merasakan begitu lelahnya hatiku. Ternyata selama ini aku masih belum bisa benar-benar merelakannya pergi dari hatiku. Aku hanya berpura-pura bahagia tak bertemu dengannya, selama ini aku hanya berpura-pura dan menyiksa hatiku sendiri. Aku tak bisa menghentikan tangisanku.

“Rain.” ucap Suzy
Aku melihat kearahnya sedang memegang satu bungkus cokelat
“Ada seseorang yang menitipkan cokelat ini untukmu, tadi katanya dari temannya.”
Aku melihat cokelat itu dan tertera kertas yang menempel di bungkus luar cokelatnya. Don’t cry, Raini ☺. Aku mengusap airmataku dan keluar dari ruangan. Aku melihat disekitar ruangan tidak ada siapapun. Apakah kali ini persepsiku akan salah ? Apa aku salah beranggapan bahwa cokelat ini adalah dari dia ? Aku memakai sepatu ku dan berlari entah kemana untuk mencarinya. Dan aku menemukannya sedang berdiri di depan kelasnya. Aku memanggilnya.
“Adi.”
Dia menoleh ke arahku dan tersenyum padaku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung memeluknya. 
“Raini, ini kampus.”
“Aku tahu, di. Sebentar saja. Jangan bicara apapun. Sebentar saja, hanya sekali ini. Biarkan aku seperti ini, sebentar saja.”
Adi tak lagi bersuara padaku dan dia membiarkanku memeluknya. Aku benar-benar sudah menghancurkan harga diriku sebagai wanita. Wanita bodoh yang menunjukkan perasaannya. Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya dan mungkin adi mendengar tangisanku yang dekat dengan telinganya. Dia menepuk bahuku seakan-akan dia tahu betapa beratnya perasaanku untuk memeluknya saat ini. Aku sudah hancur, sangat hancur. Bagaimana bisa aku sebodoh ini ? Dia memberi ku cokelat yang ada ditanganku bukan karena dia menyukaiku. Dia hanya ingin aku tidak menangisinya lagi. karena dia pun tahu aku menyukainya, dan dia hanya bisa memberikanku cokelat ini sebagai tanda kalau aku tak perlu menangisinya. Aku benar-benar sangat terpukul. Aku mengeratkan pelukanku dan berkata dalam hati Adi, detik ini juga aku menghentikan perasaanku padamu. Aku tak mau melajutkan perasaanku yang menyedihkan. Karena mu, harga diriku sebagai wanita jatuh begitu saja. Bukan salahmu tidak bisa membalas perasaanku, hatimu adalah milikmu. Hati sampai kapan pun tak kan pernah bisa dipaksa, dan aku paham itu. Aku takkan mengganggumu lagi. Pelukan ini biarlah jadi yang terakhir, biarkan dia menjadi obat untuk luka hatiku. Aku berharap kamu bahagia, walau aku harus merasakan kepahitan saat menyukaimu tapi kamu juga bagian dari kebahagiaanku. Sekarang, aku sudah siap melepaskanmu dari hatiku. Aku mengusap airmataku dan melihat wajahnya.
“Adi, terimakasih. Kamu mau menjadi teman baikku saat SMA. Dan maaf jika selama ini aku mengganggu kehidupanmu. Aku takkan melupakanmu, di. Oh ya, makasih juga ya buat cokelatnya dan surat kecil ini.” Aku tersenyum sambil menunjukkan surat yang tertempel di cokelat itu padanya
“Aku harap kamu bahagia, raini.”
Aku hanya tersenyum padanya dan menepuk bahunya. Aku tak mengucapkan selamat tinggal padanya karena mungkin suatu hari nanti aku akan bertemu dengannya lagi. Aku kembali ke ruang tempat latihan drama kelasku, selama perjalanan aku memegang cokelatnya dekat jantungku. Berkata dalam hati, aku akan benar-benar melepaskanmu, adi.
                                                                ***
Setelah pertemuan itu, aku sangat lega menjalani hari-hariku. Aku telah memastikan bahwa aku sudah tidak lagi hidup dalam kepalsuan. Begitu cepatnya waktu yang aku lalui hingga tiba hari dimana aku telah selesai sidang. Aku hanya tinggal menunggu waktu kapan aku wisuda. Menunggu hari yang bisa dihitung oleh jemari-jemari yang Allah berikan. Sungguh membahagiakan bisa lulus secepat ini. Tanpa dia pun, aku bisa membusungkan dadaku. Aku mampu buktikan padanya bahwa aku bukan lah wanita priceless. Memang, semua awal perubahanku dimulai karenanya. Tapi, aku sadar kalau kepintaran yang dia punya pun bisa ku punyai. Aku sangat berterimakasih, karenanya aku berubah menjadi lebih baik. Bukan hanya fisik yang cukup memuaskan dibanding aku yang dlu, tapi juga kepintaran yang aku asah dengan perjuangan. Semua takkan ada perubahan jika itu bukan dia.

H-3 menjelang wisuda, aku mendapatkan bbm dari Ravi
Rain, apakah kamu mau aku datang ke wisuda mu ?
Ya, pastilah. Datang ya rav, jangan lupa. Bawa hadiah juga, haha.
Oke. Mau aku bbm Adi gak ?
Gak. Jangan. Gak butuh. Gak perlu.
Oke.
Ravi, pertanyaannya yang tak jauh-jauh tentang Adi. Segitu dekatkah mereka sehingga dia harus menanyakan Adi padaku ? Jika aku bilang yang sebenarnya pada Ravi, mungkin dia akan berpikir bahwa aku wanita menyedihkan. Atau mungkin memang dari awal dia sudah mengasihani perasaanku. Sangat memalukan! Andai saja saat itu aku mampu mengendalikan perasaanku, mungkin saja aku masih berteman baik dengan Adi tanpa ada jarak sedikitpun. Tapi apapun itu, Adi dan Ravi tak akan pernah aku lupakan sampai malaikat maut mengambil nyawaku. Mereka adalah orang yang sangat berarti dalam kehidupanku. Mereka tak perlu tahu, aku tak perlu juga katakan hal itu. Setiap doa, aku tak lupa menyelipkan nama mereka. Aku sangat mengharapkan mereka bahagia.

*detik menjelang wisuda. 
 Nama ku, Raini Arditasya di panggil. Aku sangat terharu, penantian lulusku tiba juga. Semua airmata dan tawa yang ku alami di kampus seakan terputar lagi di otakku. 
“Rainiii.” teriak Suzy
“Haiii. Kamu datang, ah bahagianya.”
“Iya dong, selamat ya sayang.”
“Makasih, zy.”
“Rainiii, selamat ya.” ucap Disa
Aku tak menyangka teman taekwondo terbaikku, dia datang bersama teman-teman taekwondo lainnya membawakan bunga dan mengucapkan selamat padaku. Bukan hanya mereka, aku juga kedatang malaikat penolongku. Ravi.
“Raini, selamat ya. Akhirnya kamu nyusul juga, aku duluan malah yang lulus.” kata Ravi sambil menjulurkan lidah
“Iya deh yang pinter.”
“Nih buat kamu.”
“Wah, cokelat. Makasih, Rav.”

Ibuku dan ayahku menyusul ke tempat dimana aku berkumpul dengan teman-temanku termasuk Ravi. Mereka memeluk aku, dan melihat adanya senyum bangga juga terharu dari bibir mereka. Aku sangat berterimakasih pada Allah, karena aku bisa membalas semua jerih payah mereka dengan kelulusan yang membanggakan ini. Aku membalas pelukan orangtuaku dengan meneteskan airmata. Tak ingin berlama-lama dalam haru biru, aku dan kelurga foto bersama di wisudaku.  Lalu, aku kembali lagi ketempat dimana teman-temanku berada. Tanpa aku sadari, aku kembali bertemu lagi dengannya. Adi. Ternyata dia juga wisuda di hari yang sama denganku, kami memakai toga di hari yang sama. Dia melihat ku meskipun jarak kami cukup jauh dan banyak sekali orang-orang yang berada di sekitar aku dan dia. Meskipun tanpa kata terucap, dia memberikanku senyumannya. Aku juga tersenyum padanya. Kami saling bertatapan walaupun tiada satu kata ucapan selamat. Cintaku berakhir di hari wisudaku. Tragis tapi masih membahagiakan dan membekas. Luka ? Tak sebanding dengan kebahagiaan yang aku rasakan. Aku harus realistis, hati memang tak pernah bisa dipaksa. Bahkan jika kita terlihat menyedihkan di depan orang yang kita cintai, jika hatinya bukan untukmu, dia tetap takkan pernah membalas perasaanmu. Aku paham itu seiring dengan usiaku yang dewasa. Aku mulai menerima alasan mengapa dia tak bisa mencintaiku, itu bukan masalah aku yang tidak cantik atau aku yang tidak setara dengan kelas sosialnya. Semua bukanlah berdasarkan pada apa yang dilihat dari mata, tapi semua berasal dari bagaimana hati menentukan. Aku tak menyalahkan dia sebagai penyebab jatuhnya harga diriku sebagai wanita. Wanita pengejar cinta yang memalukan. Dari Adi lah aku mempelajari makna tentang cinta. Cinta yang tulus akan melepaskan dan merelakan demi kebahagiaan bersama. Dia terbang bersama doa-doa yang dipasrahkan kepada penggerak hati yaitu, Allah. Dan cintaku benar-benar pergi bersama hujan yang turun di hari wisudaku, seperti namaku Raini. Hujan. Walaupun hujan tapi selalu ada percikan kebahagiaan. Kini, wisudaku yang mengharukan sudah lengkap rasanya, penuh dengan kebahagiaan nyata yang akan menjadi kenangan indah sepanjang hidupku.

                                   

1 komentar: